FIQH MUNAKAHAT
Khitbah,
Kafa’ah, Aurat, dan Khalwat
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh Munakahat
Pengampu : Moh.
Rodli
Disusun Oleh:
Arfi Hilmiati (1702046001)
Kholifah
RA (1702046004)
Akhmad Busyairi (1702046006)
ILMU
FALAK
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
KATA
PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji Syukur Kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas membuat makalah yang berjudul “FIQH MUNAKAHAT : Khitbah, Kafa’ah, Aurat, dan Khalwat”. Demikian juga shalawat serta salam
semoga tetap tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah berjuang merubah dunia ini dari kegelapan
menjadi dunia yang terang benderang. Serta kami
juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari semua pihak yang
telah ikut berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini baik dari segi materi ataupun pemikirannya.
Dan harapan kami, semoga
makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan dan dapat menjadi refrensi bagi
para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki dari segala kekurangan makalah
ini.
Kita
ketahui bahwa sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Penulis sadar,bahwa makalah ini masih banyak
kesalahan. Maka dari itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan.
Semarang, 08 Maret 2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri. Dalam kesehariannya ia membutuhkan orang lain. Interaksi sosial
lah kebiasaan mereka, sehingga dengan interaksi tersebut kadang kala
menumbuhkan rasa saling suka dan saling cinta serta ketertarikan antar lawan
jenis.
Islam memandang itu hal yang sangat wajar karena Allah
pun menyebutkan dalam firman-Nya ”Dan di
antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya Dia menciptakan pasang-pasangan untuk kamu
dari jenis kamu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir.” (QS. Ar-Rum [30]: 21).
Tetapi kadang kala kewajaran itu menjadi tidak wajar
ketika para pemuda-pemudi yang belum terikat dalam sahnya pernikahan bertindak
ataupun bersikap layaknya suami-istri. Maka dari itu, agar apa yang mereka
lakukan menjadi halal berdasarkan Agama, maka dilakukanlah akad nikah. Tapi,
sebelum melangsungkan akad pernikahan dilakukan lah ta’aruf antar kedua belah
pihak serta diikatlah dengan khitbah karena akad nikah ini bukanlah hanya
sekedar akad, berbeda dengan akad jual beli, ini adalah akad sebagai pintu
pembuka terciptanya keluarga baru.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian, hikmah, hukum, tata cara, serta konsekwensi hukum khitbah ?
2.
Apa
pengertian kafa’ah, ukuran, kedudukan Kafa’ah dalam akad nikah ?
3.
Apa
pengertian aurat dan apa saja anggota tubuh yang boleh dilihat oleh lawan jenis
?
4.
Apa
pengertian khalwat serta bagaimana hukumnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Khitbah
1.
Pengertian
khitbah
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk
menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan
kebersamaan hidup. Atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan
kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’.[1]
Khitbah juga diartikan (meminang). Khitbah merupakan
pernyataan yang jelas atas keinginan menikah, ia merupakan langkah-langkah
menuju pernikahan meskipun khitbah tidak berurutan dengan mengikuti ketetapan,
yang merupakan dasar dalam jalan penetapan, dan oleh karena itu seharusnya
dijelaskan dengan keinginan yang benar dan kerelaan penglihatan. [2]
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menikahi
seorang yang dicintainya (perempuan) sebelum masuk ke jenjang pernikahan.
2.
Hikmah
Khitbah
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا
بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra :70)
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Isra :70)
Menurut ayat
di atas, dapat kita simpulkan bahwa hikmah dari adanya khitbah adalah:
a.
Untuk
saling mengenal antara calon pasangan suami dan istri
b.
Supaya
masing-masing pihak baik dari suami atau istri dapat mengetahui calon
pendamping hidupnya
c.
Untuk
mepererat hubungan antara keluarga calon mempelai
d.
Jalan
untuk menuju kesepakatan kedua calon mempelai
e.
Untuk
menyeleksi dengan benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman
hidupnya, karakter, perilaku, dan akhlaknya.
f.
Agar
tidak dapat mendatangkan keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu
pihak.
3.
Hukum
Khitbah
Orang-orang
yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri hendaklah
mereka (istri-istri) menunggu (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis ‘iddahnya, maka tidak ada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dan tidak
ada dosa bagimu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan menikahi mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk
menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata
yang ma’ruf. Janganlah kamu berazam (menetapkan hati) untuk melakukan akad
nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Isra’ : 234-235)
Menurut terjemahan kedua ayat diatas, hukum khitbah
bagi seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya adalah boleh, dengan
ketetapan khitbah dengan sindiran. Jangan sampai berazzam untuk melangsungkan
akad pernikahan ketika perempuan tersebut masih dalam masa iddah yaitu selama
empat bulan sepuluh hari.
Hukum khitbah bagi seorang perempuan yang di talak raj’i adalah haram karena ada
kemungkinan sang suami ingin rujuk kembali kepada sang istri. Sementara untuk
khitbah bagi seorang perempuan yang ditalak ba’in
adalah boleh.
Perlu kita ketahui bahwa mengkhitba pinangan orang
lain hukumya adalah haram karena itu akan menghalangi hak dan akan menyakiti
hati peminang pertama sehingga nantinya akan menyebabkan kesenjangan social dan
dapat memecah belah persatuan.
Mengkhitbah pinangan orang lain yang diharamkan itu
seandainya pihak perempuan serta walinya telah menerima pinangan pertama dari
seorang laki-laki. Tetapi jika pinangan pertama itu ditolak baik secra
terang-terangan ataupun dengan sidiran, maka seorang laki-laki yang ingin
meminang atau bisa dikatakan peminang ke dua boleh melakukan khitbah. Karena
peminang pertama berstatus ditolak maka status perempuan tersebut masih
dikategorikan belum dalam pinangan orang lain.
4.
Tata
Cara Khitbah
Tiap-tiap
daerah berdasarkan kebudayaannya masing-masing memiliki tata cara khitbah yang
berbeda-beda. Misalnya saja didaerah Minangkabau. Didaerah tersebut justru
pihak perempuanlah yang melakukan pinangan terhadap laki-laki dengan susunan acara:
Melamar : Menyampaikan secara resmi
lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak keluarga si pemuda
Batuka tando : Mempertukarkan tanda ikatan
masing-masing
Baretong : Merembugkan tata cara yang
akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon pengantin pria waktu akan
dinikahi
Manakuak hari :Menentukan waktu kapan niat itu akan
dilaksanakan[3]
Adapun
menurut hukum syara’, perempuan yang boleh dipinang adalah perempuan yang
memenuhi syarat sebagai berikut.
a.
Tidak
dalam pinangan orang lain
b.
Pada
waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syarak yang melarang
dilangsungkannya pernikahan
c.
Perempuan
itu tidak dalam masa idah karena
talak raj’i.
d.
Apabila
perempuan dalam masa idah karena
talak bain, hendaklah meminang dengan
cara sindiran.[4]
B.
Kafa’ah
1.
Pengertian
Kafa’ah
Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, kafa’ah atau kufu’
menurut bahasa adalah setaraf, seimbang, keserasian, serupa, sederajat atau
sebanding. Menurut istilah hukum Islam, kafa’ah dalam pernikahan yaitu
keseimbangan dari keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat melangsungkan pernikahan.[5]
Kafa’ah dalam pernikahan sangatlah penting karena
dengan kafa’ah tersebut maka akan terciptalah keluarga yang harmonis dan
kafa’ah merupakan faktor pendorong terciptanya kebahagiaan pasangan suami
istri. Kafa’ah sangatlah dianjurkan dalam memilih calon suami istri, tapi kafa’ah
bukanlah penentu sah atau tidaknya suatu pernikahan. Kafa’ah hanyalah sebagai
pembenteng adanya kegagalan rumah tanga, sebab suatu pernikahan yang tidak
seimbang akan menyebabkan terjadinya banyak goncangan baik dari kedua belah
pihak, keluarga maupun masyarakat sekitar.
2.
Ukuran
Kafa’ah
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat : 13)
Menurut ayat diatas, Allah SWT. menciptakan manusia
dengan berbagai macam perbedaan. Lalu bagaimana dengan pernyataan yang
menyatakan bahwa mencari pasangan itu harus yang sekufu’?.
Ada beberapa pendapat tentang ukuran kafa’ah dalam
pernikahan. Menurut segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama
sajalah yang dijadikan pertimbangan. Segolongan lainnya berpendapat bahwa
faktor keturunan sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor
kekayaan, dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah kecuali yang di ijmak,
yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam kafa’ah.[6]
C.
Aurat
1.
Pengertian
Aurat
Aurat adalah bagian tubuh manusia yang harus ditutupi
dan terlarang terlihat oleh orang lain dengan status yang berbeda-beda sesuai
kondisi berdasarkan hukum syara’.[7]
2.
Anggota
tubuh yang boleh terlihat lawan jenis
Syariat islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita
terpinang, padahal haram asalnya memandang wanita lain yang bukan mahram
kecuali dalam keadaan darurat. Seperti pengobatan, menerima persaksian, dan
menyampaikan persaksian. Sedangkan dalam khitbah, banyak pendapat ulama yang
berpendapat bolehnya melihat anggota tubuh wanita, seperti :
a.
Mayoritas
Fuqoha’ seperti Imam Malik As-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan
bahwa anggota tubuh yang boleh dilihat adalah wajah dan telapak tangan wajah
tempat terhimpun segala kecantikan dan mengungkapkan segala banyak nilai-nilai
kejiwaan, kesehatan dan akhlak. Sedangkan telapak tangan dijadikan indicator
kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya.
b.
Ulama
Hambali berpendapat bahwa batas boleh memandang wanita terpinang sebagaimana
memandang wanita mahram. Seperti wajah, telapak tangan, leher, kepala, kedua
tumit, dan sesamanya.
c.
Ulama
Hanafiyah dan Hambaliyah yang masyhur mazhabnya berpendapat kadar anggota tubuh
yang diperbolehkan untuk dilihat yaitu wajah, telapak tangan, dan kaki. Tidak
boleh lebih dari itu.
d.
Dawud
Az-Zhahiri, berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh yang terpinang
yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi :”lihatlah kepadanya.” Namun pendapat ini ditolak mayoritas ulama
karena pendapat ini menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan
kebolehan sesuatu kepada darurat diperkirakan sekadarnya.[8]
D.
Khalwat
Khalwat secara bahasa yaitu menyepi, menyendiri, mengasingkan
diri Bersama dengan seseorang atau tanpa kesertaan orang lain. Sedangkan secara
istilah, khalwat adalah hubungan antara laki-laki dan wanita dimana mereka
menyepi dari pendengaran, penglihatan, pengetahuan atau campur tangan pihak
lain. [9]
Menurut penulis, yang dikategorikan sebagai khalwat di
sini tidak hanya berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya saja, berdua-duaan
dengan mahramnya juga bisa dikatakan khalwat. Pada zaman sekarang ini banyak
kasus seorang ayah yang menghamili putri kandungnya sendiri.
Pada hadis diatas terdapat kata “tidak
boleh berkhalwat (berduaan di tempat sepi)”. Kata tersebut jelas
menunjukkan larangan Allah SWT untuk berdua-duaan di tempat yag sepi antara dua
insan yang berbeda gender baik di waktu siang maupun diwaktu malam. Hal itu
dikhawatirkan akan terjadinya zina. Karena zina itu perbuatan yang sangat
tercela dan bahkan Allah SWT. menyebutkan bahwa zina merupakan perbuatan yang
keji. Oleh karena itu, Pendidikan akhlak dan moral sangatlah penting. Menurut
John Lock “sesungguhnya keutamaan itu
(akhlak) adalah sesuatu yang wajib kita jadikan tujuan Pendidikan”.[10]
BAB
III
KESIMPULAN
Khitbah adalah permintaan
seorang laki-laki untuk menikahi seorang yang dicintainya (perempuan) sebelum
masuk ke jenjang pernikahan. Hikmah dari adanya khitbah adalah ntuk saling
mengenal antara calon pasangan suami dan istri, supaya masing-masing pihak baik
dari suami atau istri dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.
Kafa’ah dalam pernikahan yaitu
keseimbangan dari keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat melangsungkan pernikahan.
Syariat islam memperbolehkan
pandangan terhadap wanita terpinang, padahal haram asalnya memandang wanita
lain yang bukan mahram kecuali dalam keadaan darurat. Seperti pengobatan,
menerima persaksian, dan menyampaikan persaksian. Sedangkan dalam khitbah,
banyak pendapat ulama yang berpendapat bolehnya melihat anggota tubuh wanita.
Khalwat adalah berdua-duaan di
tempat yang jauh dari keramaian. dikategorikan sebagai khalwat di sini tidak
hanya berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya saja, berdua-duaan dengan
mahramnya juga bisa dikatakan khalwat. Pada zaman sekarang ini banyak kasus
seorang ayah yang menghamili putri kandungnya sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
As-subki, Ali yusuf As-subki. 2010. FIQH KELUARGA pedoman berkeluarga dalam islam. Jakarta: Amzah
Azzam, Abdul aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas. 2009. FIQH MUNAKAHAT, khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta :Amzah,
Sahrani, Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih
Munakahat, kajian fikih nikah lengkap. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Tanfidiyah, Nur.2017. “Perkembangan Agama Dan Moral
Yang Tidak Tercapai Pada AUD”, Nadwa : UIN Sunan Kalijaga, Vol. 11, No.2
www.tipsahoi.com/2017/01/khalwat-pengertian-hukum-penjelasan.html?m=1
http://adat-budaya-minang.blogspot.com/2008/01/6-maminang.hmtl?m=1
[1] Abdul aziz Muhammad Azzam, Abdul
Wahhab Sayyed Hawwas, FIQH MUNAKAHAT,
khitbah, Nikah, dan Talak, (Jakarta :Amzah, 2009) hlm. 8
[2] Ali yusuf As-subki,FIQH KELUARGA pedoman berkeluarga dalam
islam, (Jakarta: Amzah, 2010) hlm. 66
[4] Tihami, Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat, kajian fikih nikah lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2009)
hal. 24
[5] Tihami, Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat, kajian fikih nikah lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2009)
hal. 56
[6] Tihami, Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat, kajian fikih nikah lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2009)
hal. 59
[7] http://googleweblight.com/i?u=http://tabirjodoh.wordpers.com/2010/09/13/pengertianaurat/&hl=id-ID
[8] Abdul aziz Muhammad Azzam, Abdul
Wahhab Sayyed Hawwas, FIQH MUNAKAHAT, khitbah, Nikah, dan Talak (Jakarta
:Amzah, 2009) hlm. 2009
[10] Nur Tanfidiyah, “Perkembangan Agama
Dan Moral Yang Tidak Tercapai Pada AUD”, Nadwa : UIN Sunan Kalijaga, (Vol. 11, No.2, 2017), hlm. 200
Komentar
Posting Komentar